PEMANFAATAN MAKHLUK HIDUP DALAN UPAYA PENYELAMATAN LINGKUNGAN

Ditulis oleh : alhudasindangreret on Senin, 18 April 2011


Mikroba seperti bakteri, virus, jamur, maupun protozoa mempunyai peran yang sudah tidak diragukan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari makanan seperti tempe, keju, roti, sosis dan asinan serta minuman segar dan menyehatkan seperti yoghurt telah menggunakan mikroba sebagai agen hayati dalam proses pembuatannya. Bahkan dunia kedokteran pun telah memanfaatkan jasa mikroba ini untuk pembuatan vaksin ataupun antibodi monoklonal melalui rekayasa genetik. Tak hanya sampai di situ ternyata mikroba juga turut berperan sebagai agen lingkungan. Makhluk Allah yang kecil bahkan superkecil seperti virus pun ternyata telah memberi manfaat luar biasa untuk kehidupan kita.

Beberapa proses yang melibatkan makhluk hidup khususnya mikroba adalah bioakumulasi, bioremediasi,  biopestisida dan biopori

1.BIOAKUMULASI

Dengan berkembangnya industri telah memberikan kontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Dari angka-angka pencemaran yang tinggi nampaklah adanya resiko yang tinggi terhadap kesehatan melalui proses bioakumulasi. Dengan adanya ketentuan ambang batas pencemaran oleh WHO sebesar 0,5 ppb,  industri tidak dapat begitu saja membuang limbah tanpa diolah terlebih dahulu ( World Bank, 1994).

Jika memperhatikan sumbernya unsur-unsur toksik dapat mencapai tanah. Unsur-unsur tersebut menjadi bagian dari siklus hidup mulai dari tanah, tumbuhan, hewan dan manusia. Unsur-unsur ini dapat berakumulasi dalam jaringan tubuh hewan dan manusia sampai tingkat toksik. Situasi ini dapat membahayakan kehidupan berbagai organisme. Begitu juga manusia yang tinggal di akhir rantai makanan, sehingga menjadi sesuatu yang penting untuk mengurangi pelepasan unsur-unsur toksik dalam limbah industri (Brady, 1974).

Untuk mengelola limbah logam berat yang terdapat dalam limbah padat industri kertas dapat dilakukan bioakumulasi. Menurut Satchell (1983), bahwa melalui mekanisme yang ada dalam tubuh cacing tanah, terutama melalui sistem pertukaran kation di kloragosom, cacing tanah dapat mengakumulasi logam berat yang ada di lingkungan.  Bahkan dari semua jenis logam berat yang dipelajari, Cd dapat diakumulasi pada semua species cacing tanah pada tingkat yang lebih besar dari logam berat lainnya.

Tingkat logam berat yang diakumulasi oleh cacing tanah tergantung pada species dan macam-macam faktor fisiologis yang terlibat. Begitu pula jaringan yang mengakumulasi logam berat mungkin ada yang lebih banyak diakumulasi di bagian anterior, klitelum ataupun di bagian posterior.

Melihat segala akibat yang ditimbulkan logam berat, maka perlu dilakukan penanganan. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah bioakumulasi menggunakan cacing tanah. Menurut Pincince dan Donovan (1981), Keuntungan utama yang bisa didapatkan adalah diperolehnya kascing sebagai pupuk dan cacing tanahnya sendiri bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Proses bioakumulasi bisa dilakukan secara ekonomis dan dapat diandalkan dalam skala luas serta dapat mengurangi efek toksik logam berat. Teknik ini menghindari pendekatan-pendekatan alternatif yang menggunakan sejumlah energi (misalnya “insinerasi”) atau mempunyai efek yang kurang menguntungkan terhadap landscape (misalnya “landfill”)


2. BIOREMEDIASI
Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan/atau proses produksi, termasuk diantaranya limbah B3.
Limbah dapat dibedakan berdasarkan nilai ekonomisnya dapat digolongkan dalam 2 golongan yaitu :
  1. limbah yang memiliki nilai ekonomis limbah yang dengan proses lebih lanjut/diolah dapat memberikan nilai tambah. Contohnya : limbah dari pabrik gula yaitu tetes, dapat dipakai sebagai bahan baku pabrik alkohol, ampas tebunya dapat dijadikan bubur pulp dan dipakai untuk pabrik kertas. Limbah pabrik tahu masih banyak mengandung protein dapat dimanfaatkan sebagai media untuk pertumbuhan mikroba misalnya untuk produksi Protein Sel Tunggal/PST atau untuk alga, misalnya Chlorella sp.
  2.  limbah non ekonomis limbah yang tidak akan memberikan nilai tambah walaupun sudah diolah, pengolahan limbah ini sifatnya untuk mempermudah sistem pembuangan. Contohnya:limbah pabrik tekstil yang biasanya terutama berupa zat-zat pewarna.
Berdasarkan sifatnya limbah dapat dibedakan menjadi :
  1. Limbah padat adalah hasil buangan industri yang berupa padatan, lumpur, bubur yang berasal dari sisa kegiatan dan atau proses pengolahan. Contohnya : limbah dari pabrik tapioka yang berupa onggok, limbah dari pabrik gula berupa bagase, limbah dari pabrik pengalengan jamur, limbah dari industri pengolahan unggas, dan lain-lain. Limbah padat dibagi 2, yaitu : 
    •  dapat didegradasi, contohnya sampah bahan organik, onggok, .
    • tidak dapat didegradasi contoh plastik, kaca, tekstil, potongan logam.

     2.  Limbah Cair adalah sisa dari proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair.
          Contohnya antara lain : Limbah dari pabrik tahu dan tempe yang banyak mengandung protein, limbah
          dari industri pengolahan susu.

     3.  Limbah gas/asap adalah sisa dari proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud gas/asap.
          Contohnya : limbah dari pabrik semen 

          Proses Pengolahan limbah dapat dilakukan dengan cara  
          *  Proses pengolahan secara aerobik :
              Prinsip pengolahan secara aerobik adalah menguraikan secara sempurna senyawa organik yang
              berasal dari buangan di dalam periode waktu yang relatif singkat. Penguraian dilakukan terutama
              dilakukan oleh bakteri dan hal ini dipengaruhi oleh :
              1. jumlah sumber nutrien
              2. jumlah oksigen
 

Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun (http:// id.wikipedia.org) Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. 

Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.

Bioremediasi merupakan suatu teknologi inovatif pengolahan limbah, yang dapat menjadi teknologi alternatif dalam menangani pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan di Indonesia. Bioremediasi ini teknik penanganan limbah atau pemulihan lingkungan, dengan biaya operasi yang relatif murah, serta ramah dan aman bagi lingkungan.

Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).

Ada dua jenis bioremediasi, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi. Sementara bioremediasi ex-situ atau pembersihan off-side dilakukan dengan cara tanah yang tercemar digali dan dipindahkan ke dalam penampungan yang lebih terkontrol, kemudian diberi perlakuan khusus dengan menggunakan mikroba. Bioremediasi ex-situ dapat berlangsung lebih cepat, mampu me-remediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih beragam, dan lebih mudah dikontrol dibanding dengan bioremediasi in-situ.

Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dlm bioremediasi:
1. stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi PH, dsb
2. inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus
3. penerapan immobilized enzymes
4. penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar.

Bioremediasi ex-situ meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap, kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Kelemahan bioremediasi ex-situ ini jauh lebih mahal dan rumit. Sedangkan keunggulannya antara lain proses bisa lebih cepat dan mudah untuk dikontrol, mampu meremediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih beragam.

Proses bioremediasi harus memperhatikan antara lain temperatur tanah, derajat keasaman tanah, kelembaban tanah, sifat dan struktur geologis lapisan tanah, lokasi sumber pencemar, ketersediaan air, nutrien (N, P, K), perbandingan C : N kurang dari 30:1, dan ketersediaan oksidasi.

Contoh bioremediasi bagi lingkungan yang tercemar minyak bumi. Yang pertama dilakukan adalah mengaktifkan bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada di dalam tanah yang mengalami pencemaran tersebut. Bakteri ini kemudian akan menguraikan limbah minyak bumi yang telah dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat kandungan minyak akan berkurang dan akhirnya hilang, inilah yang disebut sistem bioremediasi (http://forum .upi.edu)

3. BIOPESTISIDA
Pestisida alami adalah suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari alam seperti tumbuhan. Pestisida alami merupakan pemecahan jangka pendek untuk mengatasi masalah hama dengan cepat Pestisida nabati bersifat ramah lingkungan karena bahan ini mudah terdegradasi di alam, sehingga aman bagi manusia maupun lingkungan (Cheng dan Hanlon, 1985; Kardinan, 1999). Selain itu pestisida nabati juga tidak akan mengakibatkan resurjensi maupun dampak samping lainnya, justru dapat menyelamatkan musuhmusuh alami (Untung, 1993).

Pestisida nabati merupakan produk alam dari tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit, dan batang yang mempunyai kelompok metabolit sekunder atau senyawa bioaktif (Anonim, 1994). Beberapa tanaman telah diketahui mengandung bahan-bahan kimia yang dapat membunuh, menarik, atau menolak serangga. Beberapa tumbuhan menghasilkan racun, ada juga yang mengandung senyawa-senyawa kompleks yang dapat mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan, atau mengubah perilaku serangga (Supriyatin dan Marwoto, 2000).

Secara umum, adapun beberapa keunggulan dari pestisida alami, antara lain:
· Jenis pestisida ini mudah terurai (biodegradable) di alam, sehingga tidak mencemarkan lingkungan (ramah lingkungan).
· Relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang.
· Dapat membunuh hama/ penyakit seperti ekstrak dari daun pepaya, tembakau, biji mahoni, dsb.
· Dapat sebagai pengumpul atau perangkap hama tanaman: tanaman orok-orok, kotoran ayam
· Bahan yang digunakan pun tidak sulit untuk dijumpai bahkan tersedia bibit secara gratis (ekonomis).
· Dosis yang digunakan pun tidak terlalu mengikat dan beresiko dibandingkan dengan penggunaan pestisida sintesis. Untuk mengukur tingkat keefektifan dosis yang digunakan, dapat dilakukan eksperimen dan sesuai dengan pengalaman pengguna. Jika satu saat dosis yang digunakan tidak mempunyai pengaruh, dapat ditingkatkan hingga terlihat hasilnya. Karena penggunaan pestisida alami relatif aman dalam dosis tinggi sekali pun, maka sebanyak apapun yang diberikan tanaman sangat jarang ditemukan tanaman mati. Yang ada hanya kesalahan teknis, seperti tanaman yang menyukai media kering, karena terlalu sering disiram dan lembab, malah akan memacu munculnya jamur. Kuncinya adalah aplikasi dengan dosis yang diamati dengan perlakuan sesuai dengan karakteristik dan kondisi ideal tumbuh untuk tanamannya.

Biopestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi telah banyak diteliti, tetapi belum banyak dipakai.

Jenis-jenis biopestisida, antara lain :
1. Insektisida biologi (Bioinsektisida)
Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya (Sastroutomo, 1992).
Pada saat ini hanya beberapa insektisida biologi yang sudah digunakan dan diperdagangkan secara luas. Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus thuringiensis (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis var. kurstaki telah diproduksi sebagai insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti Dipel, Sok-Bt, Thuricide, Certan dan Bactospeine. Bacillus thuringiensis var. Israelensis diperdagangkan dengan nama Bactimos, BMC, Teknar dan Vektobak. Jenis insektisida ini efektif untuk membasmi larva nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992).
Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae, yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jengkerik. Nama dagangnya ialah NOLOC, Hopper Stopper. Cacing yang pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae, yang diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T-Shield. Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap (Sastroutomo, 1992).

2. Herbisida biologi (Bioherbisida)
Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali digunakan ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang digunakan untuk mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Bioherbisida yang kedua dengan menggunakan Colletotrichum gloeosporioides yang diperdagangkan dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika (Sastroutomo, 1992).

3. Fungisida biologi (Biofungisida)
Biofungisida menyediakan alternatif yang dipakai untuk mengendalikan penyakit jamur. Beberapa biofungisida yang telah digunakan adalah spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai.Merek dagangnya ialah Saco P dan Biotri P (Novizan, 2002).
Biofungisida lainnya menurut Novizan (2002), yaitu Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens. Produk komersialnya sudah dapat dijumpai di Indonesia dengan merek dagang Ganodium P yang direkomendasikan untuk mengendalikan busuk akar pada cabai akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii. Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat. Bakteri ini telah diproduksi secara masal dengan merek dagang Emva dan Harmoni BS (Novizan, 2002).
Pestisida alami merupakan pemecahan jangka pendek untuk mengatasi masalah hama dengan cepat. Pestisida alami harus menjadi bagian dari sistem pengendalian hama terpadu, dan hanya digunakan bila diperlukan (tidak digunakan jika tidak terdapat hama yang merusak tanaman). Pestisida alami dari ekstrak daun pepaya memiliki beberapa manfaat, antara lain: dapat digunakan untuk mencegah hama seperti aphid, rayap, hama kecil, dan ulat bulu serta berbagai jenis serangga (http://edukasi.kompasiana.com)


Add caption
Biopiro menurut organisasi.org adalah lubang yang dengan diameter 10 sampai 30 cm dengan panjang 30 sampai 100 cm yang ditutupi sampah organik yang berfungsi untuk menjebak air yang mengalir di sekitarnya sehingga dapat menjadi sumber cadangan air bagi air bawah tanah, tumbuhan di sekitarnya serta dapat juga membantu pelapukan sampah organik menjadi kompos yang bisa dipakai untuk pupuk tumbuh-tumbuhan.

Tujuan / Fungsi / Manfaat / Peranan Lubang Resapan Biopori / LRB :
1. Memaksimalkan air yang meresap ke dalam tanah sehingga menambah air tanah.
2. Membuat kompos alami dari sampah organik daripada dibakar.
3. Mengurangi genangan air yang menimbulkan penyakit.
4. Mengurangi air hujan yang dibuang percuma ke laut.
5. Mengurangi resiko banjir di musim hujan.
6. Maksimalisasi peran dan aktivitas flora dan fauna tanah.
7. Mencegah terjadinya erosi tanah dan bencana tanah longsor.
Tempat yang dapat dibuat / dipasang lubang biopori resapan air :
1. Pada alas saluran air hujan di sekitar rumah, kantor, sekolah, dsb.
2. Di sekeliling pohon.
3. Pada tanah kosong antar tanaman / batas tanaman.

Cara Pembuatan Lubang Biopori Resapan Air :
1. Membuat lubang silindris di tanah dengan diameter 10-30 cm dan kedalaman 30-100 cm serta jarak antar lubang 50-100 cm.
2. Mulut lubang dapat dikuatkan dengan semen setebal 2 cm dan lebar 2-3 centimeter serta diberikan pengaman agar tidak ada anak kecil atau orang yang terperosok.
3. Lubang diisi dengan sampah organik seperti daun, sampah dapur, ranting pohon, sampah makanan dapur non kimia, dsb. Sampah dalam lubang akan menyusut sehingga perlu diisi kembali dan di akhir musim kemarau dapat dikuras sebagai pupuk kompos alami.
4. Jumlah lubang biopori yang ada sebaiknya dihitung berdasarkan besar kecil hujan, laju resapan air dan wilayah yang tidak meresap air dengan rumus = intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap air (meter persegi) / laju resapan air perlubang (liter / jam).

 (Peni Faridah)
Berbagai sumber.





{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar